Indonesia Financial Advisor Community

Pelajari - Pahami - Rencanakan I #semuamampusejahtera

Rumah Tanpa Pagar : Sumber Gagalnya Cicilan KPR!

Putu Metta Buddhiyastini, S.E., AWP - Indonesia Financial Advisor Community

Beberapa hari sebelum penulisan artikel ini, saya dan beberapa sahabat berkumpul untuk acara buka puasa bersama. Acara tahunan ini selalu menjadi momen untuk bersilaturahmi dan berbagi cerita. Pada kesempatan itu, pembicaraan kami beralih ke topik KPR sebagai salah satu cara mencapai impian memiliki rumah. Salah satu teman saya kemudian mengajukan pertanyaan menarik.

"Bagaimana jika seseorang yang sedang membayar cicilan rumah tiba-tiba meninggal? Siapa yang akan melunasi sisanya?"


Saya terdiam sejenak, kemudian menjelaskan solusinya untuk mengatasi risiko tersebut. Namun, saya menyadari ada risiko lain yang seringkali luput dari perhatian saat seseorang mempertimbangkan KPR.

"Bagaimana jika pendapatan hilang dan tidak cukup untuk membayar cicilan?"

Setelah acara tersebut berakhir, saya terinspirasi untuk menuliskan kekhawatiran tersebut dalam artikel ini.

Untuk memahami lebih detail dari masalah di atas, mari berkenalan dengan karakter Adi:

Adi adalah seorang karyawan swasta berusia 27 tahun yang bekerja di kawasan segitiga emas Jakarta. Pada tahun kedua pernikahannya dengan Mia, mereka merasa bersyukur karena berhasil memiliki rumah pertama mereka melalui KPR.

Rumah tipe 45 mereka menjadi tempat untuk beristirahat setelah perjalanan melelahkan dari Jakarta ke Tangerang. Dapur di rumah tersebut digunakan untuk memasak hidangan favorit Adi, sementara ruang tamu menjadi tempat berkumpul bersama keluarga dan teman-teman. Mereka juga memiliki taman kecil di rumah tersebut untuk menyalurkan hobi mereka dalam bercocok tanam.

Setiap harinya, Adi harus berangkat pukul 06.00 untuk mengejar kereta commuterline pagi yang selalu penuh sesak dengan penumpang yang mencari keuntungan. Begitu tiba di kantor, dia segera menyalakan komputernya dan mulai bekerja. Terkadang, saat waktu makan siang, Adi hanya menyempatkan diri untuk makan selama 10 menit sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.

Bahkan, sering kali ia melewatkan jam makan malam karena terlalu terfokus pada pekerjaan. Akibatnya, dia seringkali menjadi salah satu karyawan terakhir yang meninggalkan kantor karena berusaha menyelesaikan target pekerjaannya. Rekan-rekannya kerap menyebut Adi sebagai tipe karyawan yang workaholic, yang selalu mengejar ambisi karirnya.

Meskipun Adi sering mendengar label tersebut dan tampaknya mengabaikannya, sebenarnya ada satu hal yang sangat membuatnya khawatir hingga sulit baginya untuk tidur dengan nyenyak. Dia takut kehilangan tempat tinggal yang masih dalam proses pelunasan KPR. Hal ini mendorongnya untuk bekerja lebih keras agar dapat segera melunasi KPRnya.

Beberapa bulan kemudian, saat hendak berangkat kerja, Adi tiba-tiba merasakan mati rasa pada salah satu kakinya sehingga dia terjatuh di halaman rumahnya. Mia segera membawa Adi ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter mendiagnosis bahwa Adi mengalami stroke. Meskipun waktu pemulihan dapat bervariasi untuk setiap orang, diperkirakan proses penyembuhannya akan memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

Lalu apakah ini akan mengganggu kondisi keuangan mereka? Bisa dilihat pada ilustrasi berikut:

Biaya perawatan rumah sakit Adi telah melampaui batas yang ditanggung oleh asuransi kantorannya, sehingga mereka harus menggunakan seluruh tabungan yang mereka kumpulkan selama bekerja untuk membayar tagihan rumah sakit. Di sisi lain, mereka juga harus menanggung biaya hidup lainnya seperti listrik, makanan, transportasi, dan juga cicilan KPR yang harus dibayar setiap bulannya.

Ketidakstabilan pendapatan dan kemungkinan Adi harus berhenti bekerja karena penyakitnya telah menimbulkan rasa cemas, kebingungan, dan kegelisahan pada Adi. Dia berharap untuk segera sembuh dari penyakitnya, namun situasi ini makin diperparah dengan tekanan finansial yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Adi membayangkan, jika waktu dapat diputar kembali, dia ingin menemukan cara untuk mengurangi risiko tersebut.

Bahkan seorang dokter pun tidak dapat membantu mengobati tekanan keuangan yang dialami oleh pasien seperti Adi. Sama seperti yang pernah disampaikan oleh dokter Marius Barnard:

Dr. Marius Barnard adalah seorang ahli transplantasi jantung asal Afrika Selatan yang pertama kali memperkenalkan konsep asuransi sakit kritis pada tahun 1983. Ide ini muncul dari keprihatinan beliau atas tekanan finansial yang dialami oleh pasien dan keluarganya setelah mengalami pengobatan penyakit kritis.

Dr. Barnard menyadari perlunya sebuah produk asuransi yang memberikan dana tunai sekaligus (lump-sum) saat seseorang didiagnosis menderita penyakit kritis, seperti kanker, jantung, dan stroke, sehingga pasien dapat fokus sepenuhnya pada proses pengobatan tanpa harus khawatir dengan masalah keuangan.

Asuransi penyakit kritis bertujuan memberikan santunan uang kepada tertanggung utama. Dana santunan ini dapat dimanfaatkan oleh keluarga untuk menggantikan pendapatan yang hilang ketika tertanggung tidak dapat bekerja akibat penyakit kritis yang dideritanya.

Selain itu, dana santunan tersebut juga dapat digunakan untuk melunasi utang, menutupi biaya hidup selama tertanggung fokus pada proses pemulihan dan berharap untuk kembali menjadi produktif seperti sebelumnya. Dengan demikian, asuransi penyakit kritis ini dapat mengalihkan risiko keuangan yang seharusnya ditanggung oleh keluarga kepada perusahaan asuransi.

Seandainya pada saat Adi memutuskan untuk mengambil KPR rumah, dia juga membeli polis asuransi sakit kritis untuk melindungi pendapatannya pada masa produktifnya. Maka Adi memperoleh polis asuransi sakit kritis dengan nilai pertanggungan sebesar Rp2,000,000,000 dan membayar premi bulanan sebesar Rp655,000 sesuai dengan usianya ketika dia mengambil KPR pada usia 27 tahun.

Dua tahun kemudian, saat Adi didiagnosis mengalami stroke dan semua gejala sesuai dengan persyaratan polis untuk klaim sakit kritis, maka uang pertanggungan sebesar Rp2,000,000,000 akan ditransfer langsung ke rekening Adi.

Mia dapat mengelola dana tersebut dengan mengalokasikan Rp400 juta untuk pengobatan Adi, Rp500 juta untuk melunasi KPR rumah mereka, dan sisanya untuk biaya hidup sehari-hari mereka. Dengan demikian, Mia dapat sepenuhnya fokus pada proses pengobatan Adi, dan keduanya berhasil menghindari bencana finansial yang dapat terjadi.

Bayangkan jika kita sudah mampu mengurangi risiko tersebut sejak awal. Kita juga dapat menghindari bencana finansial yang mungkin terjadi. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan saat memutuskan untuk mengambil KPR dan ingin memiliki polis asuransi sakit kritis?

Sebaiknya Anda berkonsultasi seorang perencana keuangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan terlebih dahulu. Saat melakukan pemeriksaan keuangan, seorang perencana keuangan akan menilai apakah fondasi keuangan yang Anda miliki sudah kuat. Selain itu, mereka juga akan memastikan bahwa polis asuransi yang ingin Anda miliki sesuai dengan kebutuhan dan anggaran Anda.

Tidak memiliki perlindungan saat memutuskan untuk mengambil KPR mirip dengan memiliki rumah tanpa pagar. Rumah tersebut menjadi rentan terhadap risiko pencurian. Namun, ketika Anda sudah memiliki asuransi, Anda telah membangun pagar yang kokoh untuk melindungi keuangan anda.

Sumber: Youtube (https://www.youtube.com/watch?v=BbGU1CBZsCg) diakses pada 4 April 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Upcoming Events

"Program Mentoring menjadi Perencana Keuangan Profesional Gratis dan dapatkan Beasiswa sampai CFP"

Pelajari dan daftar di sini >

We’d love to hear from you

Whether you want to work with us or are interested in learning more about what we do, we’d love to hear from you. You can reach us at one of our offices below.

Location

Vibe United Office 88 Lantai 25 Kota Kasablanka Jakarta 12870

Contact

info@ifac.or.id

Indonesia Financial Advisor Community.

Copyright ©. All Rights Reserved.

Web Design by DarkStallion (IAS Group)